Sejarah Drone – Sekarang, penggunaan drone sudah sangat masif. Berbagai jenis drone dan kegunaannya, di manfaatkan di berbagai bidang.
Sejarah drone atau yang sering dikenal dengan sebagai Unmanned Aerial Systems paling sering dikaitkan dengan serangan udara dalam peperangan modern, tetapi sejarah mencatatnya jauh sebelum itu.
Gagasan tentang mesin terbang yang dioperasikan dari jarak jauh dikembangkan jauh lebih awal. Pelopor dari apa yang kita anggap saat ini sebagai wahana tanpa awak tersebut adalah balon Austria yang digunakan selama pengepungan Venesia pada tahun 1849.
Balon diisi dengan bahan peledak dan diluncurkan dari kapal Austria yang berlabuh di dekat Venesia. Angin dimaksudkan untuk membawa balon, yang akan dipicu oleh elektromagnetisme melalui kabel tembaga yang panjang sebagai pengendali.
Karena cuaca yang tidak dapat diprediksi, Beberapa Balon Austria ini berhasil, tetapi sebagian balon udara malah berbalik dan mengebom Austria sendiri. Peristiwa ini membuat tidak banyak yang berani menggunakan metode ini, meski peluang berhasilnya besar, namun juga resikonya yang sulit ditaksir.
Balon udara Austria menjadi prototype pertama pengembangan wahana tanpa awak di Dunia. meski tidak terlalu sukses, Tetapi idenya tetap cocok untuk pengembangan lebih lanjut.
Meski beberapa pihak tidak setuju jika balon udara milik austria dikaitkan dengan sejarah drone. Tetap saja, merujuk pada pengertian drone, bahwa drone adalah suatu sistem wahana tanpa awak di dalamnya, yang dikendalikan dari jarak jauh, maka balon udara tersebut sudah bisa kita kategorikan drone. Dan merupakan cikal bakal sejarah drone yang panjang.
Sejarah Drone pada masa Perang Dunia I
Selama Perang Dunia I banyak senjata eksentrik dikembangkan. Salah satunya adalah pesawat tanpa pilot yang beroperasi dengan bantuan teknik radio kontrol, dengan teknologi yang sederhana.
Ruston Proctor Aerial Target mewakili teknologi drone paling mutakhir pada tahun 1916. Archibal Low, yang dijuluki “bapak sistem pemandu radio”, senang karena proyek tersebut dikembangkan lebih lanjut dan digunakan dalam serangan serudukan bergaya kamikaze terhadap Zeppelin.
Proyek lain memimpin jalan untuk penelitian UAV lebih lanjut. Salah satunya adalah Pesawat Otomatis Hewitt-Sperry, juga dikenal sebagai “Bom Terbang”, atau “Torpedo Udara”.
Proyek tersebut berpindah dari Inggris ke Amerika Serikat pada tahun 1917, menghasilkan versi Amerika yang ditingkatkan bernama Kettering Bug. Meski proyek sukses besar, perang berakhir sebelum drone ini bisa digunakan.
Periode antara PD I dan PD II
Setelah Perang Dunia I, ada banyak pihak yang antusias untuk memproduksi dan meningkatkan drone dengan dilengkapi senjata yang dikendalikan dari jarak jauh. Angkatan Darat AS mengambil inisiatif untuk mengeksplorasi lebih lanjut konsep-konsep tersebut.
Setelah perang, tiga biplan Standar E-1 diubah menjadi UAV. Sementara Amerika sedang meletakkan dasar untuk drone, Angkatan Laut Kerajaan Inggris melakukan tes desain torpedo udara seperti RAE Larynx. Pada tahun 1927 dan 1929 Larynx diluncurkan dari kapal perang di bawah autopilot.
Pesawat tanpa pilot juga dijadikan sebagai target udara. Di antara proyek yang digunakan untuk latihan sasaran adalah “DH.82B Queen Bee”. Ini berasal dari pesawat latih biplane De Havilland Tiger Moth yang diadaptasi ke teknologi radio baru.
Sejarah Drone pada PD II
Nama “Queen Bee” dianggap telah memperkenalkan istilah “drone” ke dalam penggunaan umum, yang menjadi tonggak lainnya dalam sejarah drone. Selama tahun 1930-an istilah tersebut secara khusus mengacu pada target udara yang dikendalikan radio.
Setelah Perang Dunia II pecah, itu mulai mewakili kendaraan udara tanpa pilot yang dikendalikan dari jarak jauh.
Produksi skala besar pertama, drone yang dibuat khusus adalah produk Reginald Denny . Dia bertugas dengan British Royal Flying Corps selama Perang Dunia I, dan setelah perang, pada tahun 1919, beremigrasi ke Amerika Serikat untuk mencari peruntungan di Hollywood sebagai aktor.
Denny adalah sebagai seorang aktor film, dan di sela pekerjaan akting, dia mengerjakan hobbynya pada pesawat model radio control pada tahun 1930-an.
Dia dan mitra bisnisnya membentuk “Reginald Denny Industries” dan membuka toko model pesawat pada tahun 1934 di Hollywood Boulevard yang dikenal sebagai “Toko Hobi Reginald Denny”.
Toko tersebut berkembang menjadi ” Perusahaan Radioplane “.
Denny percaya bahwa pesawat RC berbiaya rendah akan sangat berguna untuk melatih penembak antipesawat, dan pada tahun 1935 ia mendemonstrasikan prototipe drone target, RP-1, kepada Angkatan Darat AS .
Denny kemudian membeli desain dari Walter Righter pada tahun 1938 dan mulai memasarkannya kepada penghobi sebagai “Dennymite”, dan mendemonstrasikannya kepada Angkatan Darat sebagai RP-2, dan setelah dimodifikasi menjadi RP-3 dan RP-4 pada tahun 1939.
Pada 1940, Denny dan mitranya memenangkan kontrak Angkatan Darat untuk RP-4 yang dikendalikan radio mereka, yang menjadi Radioplane OQ-2 .
Mereka memproduksi hampir lima belas ribu drone untuk Angkatan Darat selama Perang Dunia II.
Penemu sebenarnya dari pesawat yang dikendalikan radio yang bisa terbang diluar jangakauan pandan (BVLOS) adalah Edward M. Sorensen sebagaimana dibuktikan dengan hak paten AS-nya. Dengan Nomor paten US Patent 2,490,844 filed in May of 1940; Patent 2,408,819 filed May 16, 1940 and patent 2,482,804 filed May 16, 1940.
Penemuannya adalah yang pertama kali dapat mengetahui dari terminal darat, apa yang dilakukan pesawat, seperti climb, ketinggian, bank, arah, rpm, dan instrumentasi lainnya.
Tanpa paten ini, pesawat yang dikendalikan radio awal hanya dapat beroperasi dalam pandangan visual (VLOS) dari pilot di darat.
Drone Dengan Torpedo
Angkatan Laut AS mulai bereksperimen dengan pesawat yang dikendalikan radio selama tahun 1930-an juga, menghasilkan drone Curtiss N2C-2 pada tahun 1937.
N2C-2 dikendalikan dari jarak jauh dari pesawat lain, yang disebut TG-2. Drone target N2C-2 digunakan pada tahun 1938.
Angkatan Udara AS (USAAF) mengadopsi konsep N2C-2 pada tahun 1939. Pesawat usang digunakan sebagai drone target anti-pesawat “seri-A”. Karena kode “A” juga akan digunakan untuk pesawat “Serbu”, kemudian target “berukuran penuh” akan diberi sebutan “PQ”.
USAAF memperoleh ratusan drone target Culver “PQ-8”, yang merupakan versi radio kontrol dari pesawat sipil ringan dua kursi Culver Cadet kecil yang rapi , dan ribuan turunan Culver PQ-14 Cadet yang ditingkatkan dari PQ-8.
AS juga menggunakan pesawat RC, termasuk B-17 Flying Fortress yang dimodifikasi dan pembom berat B-24 Liberator dalam Operasi Aphrodite.dalam pertempuran dalam skala kecil selama Perang Dunia II sebagai torpedo udara yang sangat besar, meskipun tidak berhasil dan kehilangan awak pesawat termasuk Joseph P. Kennedy, Jr.
” TDN-1 ” adalah drone tak berawak yang dikembangkan untuk digunakan pada tahun 1940. TDN mampu mengirimkan bom seberat 1.000 pon tetapi tidak pernah menjalankan misi sungguhan.
The Naval Pabrik Assult Drone (Pesawat serbu drone) “Proyek Fox” memasang RCA kamera televisi di pesawat tak berawak dan layar televisi di pesawat kontrol TG-2 pada tahun 1941.
Pada bulan April 1942, pesawat tak berawak serangan berhasil menyampaikan torpedo serangan terhadap sebuah kapal perusak di jarak 20 mil dari pesawat kontrol TG-2.
Pesawat tak berawak lainnya berhasil menabrak target yang bergerak dengan kecepatan delapan knot.
Biro Aeronautika Angkatan Laut kemudian mengusulkan program drone serbu kendali jarak jauh yang dibantu televisi dari 162 pesawat kendali dan 1.000 drone serbu.
Ketidaksepakatan muncul dalam Angkatan Laut mengenai keuntungan relatif dari program yang diusulkan untuk implementasi pertempuran skala penuh versus uji tempur skala kecil dengan pengeluaran sumber daya pesawat minimum yang mungkin mengungkapkan konsep tersebut kepada musuh dan memungkinkan pengembangan tindakan pencegahan sebelum produksi penuh.
Assault drone tetap menjadi konsep yang belum terbukti di benak para perencana militer melalui kemajuan besar sekutu tahun 1944.
Pemanfaatan terbatas pada serangan 4-drone di kapal dagang Jepang yang terdampar di Kepulauan Russell pada akhir Juli diikuti dengan mengeluarkan 46 drone di utara Kepulauan Solomon.
Sejarah drone di Indonesia
Drone yang banyak beredar di Indonesia mayoritas produk buatan luar negeri. Misalnya, drone Mavic dan Phantom buatan SZ DJI Technology Co, Ltd; H520 dan Thyphoon H buatan perusahaan China, Yuneec; Karma buatan perusahaan Amerika Serikat, GoPro; Anafi dan Bepop 2 buatan perusahaan Perancis, Parrot; serta HS100 dan HS700 buatan perusahaan Taiwan, Holy Stone.
Namun tahukah Anda, bahwa Indonesia telah mulai membuat drone atau UAV sejak tahun 1978. Sebuah postingan dari Aviahistori.com berjudul Kisah Proyek Drone/UAV Chandra Dirgantara menuliskan cerita tentang sejarah drone buatan PT Chandra Dirgantara.
Tahun 1978 PT. Chandra Dirgantara bekerjasama dengan LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) lewat divisinya bernama Multiplan Engineering yang dipimpin oleh staf teknik Suharto, membangun drone XTG-1.
Drone bermesin tunggal ini dapat digunakan untuk tugas pengintaian dan pemotretan. Payload yang berupa kamera dapat dikontrol lewat RC Futaba 6 channel yang dimodifikasi. Sayang karena teknologi waktu itu belum memungkinkan, uji coba pemotretan udara ini kabur, tidak fokus, dan tidak tepat sasaran/obyek yang ingin difoto.
Meski demikian performa dan operasional terbangnya cukup memuaskan, beberapa uji coba terbang dilakukan di lapangan terbang Pondok Cabe, baik secara konvensional atau diluncurkan dengan ketapel (catapult launching) yang memungkinkan drone ini bisa lepas landas tanpa landasan pacu.
Sumber Referensi :
- Complete remote pilot dari Bob Garner dan David Ison 2022
- https://www.cs.ryerson.ca/aferworn/courses/CPS607/CLASSES/Class02/CPS607C03.pdf
- https://id.wikipedia.org/wiki/Pesawat_nirawak
- https://www.digitaltrends.com/cool-tech/history-of-drones
- https://en.wikipedia.org/wiki/Archibald_Low
- https://www.warhistoryonline.com/military-vehicle-news/short-history-drones-part-1.html
- https://aviahistoria.com/2018/07/19/kisah-proyek-drone-uav-chandra-dirgantara/